Menjelang ke Kota Pariaman, saya singgah
sejenak di Ulakan, Padangpariaman. Saya sarapan nasi uduk atau nasi gurih di
salah satu warung penduduk setempat, tepi jalan. Lumayan sering juga saya makan
di sana karena menunya menjadi salah satu favorit perut saya.
Sambil menyuap-nyuap, ada seorang bapak
paruh baya di meja yang sama. Saya lemparkan pertanyaan mengenai basapa
atau bersafar. Kebetulan Ulakan menjadi sentral ziarah kubur Syekh Burhanudin
yang dilakoni oleh Jemaah Syattariah yang kebetulan baru saja berakhir.
Saya yakin warga sekitar adalah bagian dari
jemaah itu.
Menurut beliau kegiatan basapa itu diisi dengan kegiatan berzikir,
salat, dan berdoa. Segala harapan dihanturkan di sana. Banyak jemaah Syatariah
ini yang datang dari madura, malaysia, palembang, dan beberapa daerah sumatera
barat lainnya. Saya pun berkerut dahi, tidak menyangka,ternyata pengaruh Jemaah
Syatariyah ini luar biasa hingga ke penghujung Jawa. Hal ini dapat saya lihat
dari lautan manusia ketika datangnya hari H nya itu.
Informasi yang saya peroleh selanjutnya
adalah Syekh Burhanudin itu penyebar agama Islam di Sumtera Barat.
Kemudian beliau bercerita bahwa dahulunya
Syekh ini dari Mekah kembali ke Indonesia hanya dengan lapik sumbayang. Saya pun terperangah. Seusai itu saya kian
terhenyak bahwa ketika meninggalnya, jasad Syekh terbang kemudian diikuti oleh
burung-burung. Lalu pemakamannya tanpa dibantu oleh orang lain. Dalam arti kata
terkubur sendiri di tempatnya kini sekarang.
Lalu sang punya jualan, seorang ibu
mengatakan bahwa Ulakan, tepatnya di kuburan Syekh ini layaknya Mekah kecil.
Ibu itu melanjutkan, pernah ada suatu kejadian yang dialami pasangan suami
istri. Sang istri dicemooh oleh suaminya lantaran ziarah basapa ini. Lalu ketika istrinya pulang dari basapa sang suami ngomong-ngomong sendiri alias gila.
Nasi uduk habis saya lumat. Saatnya
melanjutkan perjalanan. Kebenaran hanya milik Allah; sedangkan manusia berusaha
memiliki pembenaran.