Di Pariaman, dalam ceramahnya, seorang buya atau ulama yang mengatakan
pada jemaahnya bahwa melayani suami sama halnya dengan memerdekan seratus
budak. Itulah besarnya pahala atau kebaikan yang didapatkan oleh seorang istri.
Di antara jemaahnya, ada seorang gadis yang mengena betul
isi ceramah buya tersebut. Gadis itu pun suka dan ingin dinikahi oleh sang
buya. Ia tidak peduli dengan usia yang terpaut jauh dengan orang yang menjadi
calon suaminya kelak. Sebab kebetulan sang buya telah masuk usia uzur.
Singkat cerita menikahlah mereka. Malam pertama pun berjalan
dengan indah. Teringat akan kaji dari sang buya, ia ingin sekali mendapatkan
banyak pahala dengan melayani suami. Ia ingat betul bahwa sekali melayani suami
berarti memerdekan seratus budak. Logikanya, dengan melayani suami beberapa
kali, ia akan lebih banyak lagi memerdekakan budak.
Setelah berhubugan badan pertama, sang gadis pun membangunkan
kembali suaminya pukul 12.00 pagi guna meneruskan niatnya tadi. Sang buya yang pada dasarnya sudah tua tentu
mengalami kesulitan, tapi dengan stamina yang dipaksakan akhirnya mengikuti
juga keinginan sang istri.
Selesai, mereka pun tertidur kembali. Sang buya benar-benar
kelelahan, habis-sehabisnya tenaga. Tertidur beberapa jam, ternyata sang istri ingin lagi menambah kebaikannya.
Pukul 4.00 subuh ia jagakan lagi sang suami.
“ha... nio mambunuah den kau...ndak talok jo den lai do...,”
ujar buya mambana.
Sang istri pun terpaksa tidak bisa meneruskan niatnya. Untuk
sementara sang istri belum bisa lebih banyak memerdekakan budak.