Taraso(h)n


Ada guru yang baru pindah dari mentawai hadir di sekolahku. Namanya Pak Rahmad. Kedatangan Pak Rahmad menghadirkan suasana baru di majelis guru. Guru Bahasa Inggris ini langsung mudah beradaptasi di SMA 4 Pariaman. Ia punya segudang pengalaman menarik saat ia berdinas di Mentawai. Beberapa di antaranya seperti yang disampaikannya di sela istrirahat.

“Pernah ado urang mentawai nio balanjo di kadai. Urang yang punyo kadai tu urang minang, baru nikah atau penganten baru. Kebetulan pulo inyo sedang basah lo rambuiknyo.”

Pembeli               : lai tarasoh (ada terasa).
Penjual                : apo?
 Si penjual mengerutkan dahi.
Pembeli               : lai... tarasoh
Kali ini pembeli mengatakan dengan tekanan yang lebih tinggi.
Penjual                 : a.... kecek ang?!
Tanya si minang sewot sambil menghampiri pembelinya.
Penjual                 :  Kurang aja ang.......

Si penjual murka dan menghajar si pembeli. Akibatnya si pembeli bingung. Apa pasal sehingga ia diperlakukan kasar oleh orang yang punya warung. Padahal ia hanya berbelanja.

Ternyata terkuak maksud dari si penjual yang sebenarnya. Karena persoalan dinamika bahasa, selisisih paham pun terjadi. Si penjual sebetulnya menanyakan “lai tarason?”, semacam obat gosok yang dapat menghangatkan tubuh. Alasan salah pengertian itulah si penjual amat tersinggung karena merasa diolok-olok si pembeli padahal tidak sama sekali.

Gara-gara tarason, wajah si pembeli menjadi “tarasoh” panas-panas. Bukan lantaran obat tarason, melainkan akibat kemarahan si penjual salah paham yang menghajarnya habis-habisan.