Namanya Aidil Akbar, tapi lebih akrab dipanggil Pak Hari. Guru
TIK ini sering membawa kisah menarik dalam akitivitasnya. Kisah itu tergambar
dari letupan kata-kata dan perilakunya ketika berinteraksi dengan teman-teman.
Di antara teman-teman, beliaulah yang tampak paling wibawa.
Dengan jenggot panjang, langkah pasti sambil menyandang tas perlengkapan
mengajar dengan berat ±5 kg
(karena diisi juga dengan martil dan berbagai tang [maklum merangkap teknisi]),
dan tidak lupa bawa alas kasur serta baju blezer pesanan pelanggan. Beliau selalu
dinanti kehadirannya di sekolah.
Tapi beliau gampang sekali sakit, padahal umurnya dikategorikan
masih muda. Faktor makanan alasannya. Contohnya ketika selesai hari raya
kurban, beliau jatuh sakit dan tidak mengajar beberapa hari. Bahkan lantaran
sakitnya, sampai- sampai harus mengenakan kaos kaki di rumah. Kuat dugaan
penyebabnya terlalu banyak makan daging.
Selain itu, mengonsumsi telur itik pun membuatnya sakit.Tensinya
seketika naik sehingga saat tiba di sekolah, kepala langsung pusing dan
berdenyut-denyut. Wajah Pak Hari pun
sendu dengan mata yang merah karena menahan sakitnya.
Beralih ke segi ekonomi, kendati punya usaha tambahan di
rumah dengan label usaha d house, keuangan Pak Hari belumlah cukup. Ia
mengatakan dalam sebulan belanja kelurganya habis 5 juta. Maklum anak dua.
Apalagi si sulung sudah masuk TK. Tentu perlu biaya yang tidak sedikit,
sedangkan SK sudah tagadai-gadai yang menyisakan gaji untuk dua hari tamat.
Suatu hari alumnus UPI Padang ini berkata pada saya, “Kadang
ambo mamikia baa caronyo menambah piti lai.” Hening sejenak, lalu melanjutkan.
“Atau paralu lo ambo maaojek ndak.”
Syukurnya, saya dan Pak Hari serempak tertawa mendengar ucapannya itu. Ya begitulah, seberapa pahitnya hidup, kita hanya perlu tertawa menyikapinya.
Barangkali itu juga yang menjadi beban pikirannya sehingga harus termangu bertopang dagu di teras rumah kontrakan. Ketika ditanya perihal itu, Pak Hari berujar lirih “itulah ambo tamanuang sambia menghituang oto jo motor yang lalu, ndak abih-abih do”. Maklum rumahnya memang tepat berada di tepi jalan raya.
Suatu waktu, kami menentukan hari untuk “mengkondusifkan suasana”. Kami punya rencana untuk jalan-jalan ke luar kota yang telah tertunda berkali-kali. Pak Hari lah yang memberi usul pada hari Jumad. Namun, pas hari H beliau tidak jadi ikut. Padahal menurut pengakuannya tugas sudah diberi ke siswa. Barangkali tak tega meninggalkan istri dan sepasang anaknya menjadi alasan.
Dengan berat hati kami pun berangkat minus Pak Hari. Akan
tetapi, penggemar biliar ini sepertinya ingin juga merasakan kebahagiaan kami
yang jalan-jalan. Ia menelepon dua kali. Pertama ketika tiba di sungai sariak
menelepon Pak Fadhil. Kedua saat tiba di Bukittinggi menghubungi saya, tepatnya
sedang makan siang di restoran simpang raya.
“Ambo minum teh talua surang se ha. Biasonya ado pak hafiz
minum basamo wak,” katanya seraya tertawa seraya mengiba hati dan seraya jaga
gawang tentunya. Maklum gelandang dan penyerang lagi jauh.
Berbicara mengenai teh talua, beliau mengaku hanya ingin minum sesekali saja. Niatnya tidak ingin sering-sering meminumnya karena terancam tensinya naik lagi. “Minum teh talua sekali sabulan ndak baa do,” katanya dengan air muka serius. Namun, tanpa di duga esok dan lusa minum lagi. Saya tidak tahu apakah lupa atau memang doyan haha.
Dan sembari minum teh talua, lewat Uni Linda, Pak Hari
langsung menyapa, “Ambo iyo katuju bana...”. Perihal itu menjadi semacam kata
sambutan wajib bagi Kuartet Katuju yang anggotanya antara lain saya, Pak
Rahmad, dan Pak Fadhil.
Mengenai “Ambo iyo katuju bana...” bukanlah dalam arti yang
sebenarnya. Ini hanya semacam kalimat candaan karena ada ceritanya yang tidak
bisa dijelaskan di sini.
Akhir kata, begitulah sekelumit cerita tentang Pak Hari.
Semoga teman yang mulai mahir bahasa Arab ini selalu bahagia dan diberikan
kesehatan oleh Allah Swt. Dan cita-citanya yang ingin pindah ke bagian
struktural ini dapat juga terwujud. Amin.