Pak Lek


S
etelah kuparkirkan motor, langsung aku berikan uang ke Pak Lek. Uang yang aku sodorkan merupakan jasa parkir di stasiun PT KAI. Meski ilegal, karena tidak disertai karcis, aku ikhlas. Dan lagi pula memberinya atas kesadaran diri sendiri. 

Kemudian sebagai catatan juga, sebenarnya biaya parkir di sana tidaklah sebanding bila dilihat durasinya sejak pagi hingga senja hanya dikenakan Rp2 rb. Namun pagi ini, pria baya dengan warna kulit gelap ini tidak lagi menerima uang dariku.

“Agiah se beko jo urang yang sore tu. Ndak paham wak lai do,” ujarnya dengan logat jawa.
Aku terkejut mendengar pernyataannya. Ada apa gerangan. Dari raut mukanya terlihat ia memendam ketidaksenangan. Perawakannya agak mengeras dengan gerakan tubuh seperti merajuk.

Baiklah aku coba menduga-duga apa penyebabnya.

  1. Pak Lek sudah tidak minat lagi menerima uang parkir
  2. Bertengkar dengan teman sejawatnya yang juga mengutip uang parkir
  3. Dilarang pihak PT KAI
  4. Atau tersinggung dengan ucapan para pemarkir motor
Kuat dugaanku masalahnya ada pada nomor dua. Karena memang di parkiran tersebut ada dua orang yang mengutip uang parkir. Pak Lek pagi hari, dan satunya lagi seseorang pada sore hari. Jika sudah membayar pagi hari kepada Pak Lek, otomatis sorenya tidak. Nah di sini lah barangkali pemicunya. Boleh jadi ada kesenjangan pendapatan antara pagi dan sore yang mengakibatkan rusaknya manajemen perparkiran. Dan ini juga kemungkinan yang membuat Pak Lek mengambil keputusan untuk tidak menerima uang parkir lagi.

Tapi bagaimanapun Pak Lek berhak menerima uang itu. Tidak lantas ia menolak uang parkir karena menurutku dialah orang partama atau lebih awal yang berada di parkiran. Saranku kepada Pak Lek terima saja uang parkir karena itu rezekinya. Dan rezeki tidak boleh ditolak.

Tulisan ini masih sebatas asumsi. Bisa benar atau juga salah.Tapi setidaknya aku mencoba menguak gambaran apa yang terjadi pada Pak Lek. Kalau ada punya asumsi lain, tolong beritahukan kepada rumput yang sedang goyang Caisar.

19/11/2013