Pagi setiba di parkir motor stasiun simpang haru, saya
langsung dituduh lari pada jumad (3/1).Saya diduga belum membayar uang parkir
kala itu. Tudingan itu disampaikan oleh sang juru parkir yang tengah berdiri
beberapa meter dari parkiraan. “Baa lari-lari seh patang hari jumad,” katanya.
Mendengar ucapannya emosi saya, tapi dalam hati. Padahal
saya sudah memberi uang itu kepada tukang parkir yang satunya lagi.Bapak ini berkilah
juga bahwatidak ada uang yang saya berikan itu. Saya menjadi heran. “Sabananyo
sia tukang parkir di siko pak?”
“Samo seh nyo. Duo-duonyo tukang parkir juo di siko,”
tukasnya
Seandainya tuduhan itu diganti menjadi kalimat tanya, tentu
tidak jadi soal. Bertanya dengan maksud konfirmasi baik-baik. Misalnya, “Hari
jumad patang lah bayia uang parkir?” kalimat ini pasti akan lebih senang
didengar toh.
Kembali saya berpikir entah apa alasan dari tuduhannya itu.
Jika diperturutkan sakit hati, tumbang bapak itu saya hantam. Ia tua dan kurus
pula. Tapi buat apalah. Anggap saja ia khilaf. Dan kekhilafannya menjadi
kabaikan buat saya. semoga.
Saya melihat hal ini barangkali disebabkan kurang koordinasi
antartukang parkir, kelupaan, atau memang tamak. Dan ini juga faktor dari konsekuensi
parkir yang tidak disertai dengan karcis. Tapi ndak
baa-baalah. Ini pelajaran. Akhirnya saya bayar lagi parkir hari jumad itu.
Sekalian untuk hari ini juga. Ke depannya saya harus memberikan uang itu ke
tukang parkir yang mendakwa saya lari ini. Sebab dialah yang selalu hadir di
setiap paginya. Berarti dialah tukang parkir inti.
06/01/2014
No comments:
Post a Comment